Translate

Selasa, 17 Desember 2013

HARI INI BEKERJA BESOK LIBUR

Slogan hari ini

Silap kira

Penyegaran

Penat, penat, penat

Masih banyak kerja

Istirahat saja

Saatnya masuk kembali ke Kalerfektori menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan yang sudah terbengkalai, bermain-main dengan garis, warna, dan visual dalam imagi untuk selalu membiasakan bekerja sendiri lagi. Beberapa art project sudah selesai, perlu pembenahan ke dalamnya bagaimana sebuah team work bergerak, kebersamaan menjadi dasar dari kerja kelompok. Menarik memang, kadang semua memang akan kembali kepada kerja pribadi. Dan untuk brekreasi adalah saatnya melakukan sesuatu yang lama tidak pernah di kerjakan, karena berkesibukan di media yang lain. Proses, selamanya hidup hanyalah proses menuju ke akhiran, bukan menuju kesempurnaan. Kita hanya mampu mengerjakan secara maksimal sebagus dalam kebagusan kita. Bergelombang menuju ke segala penjuru, biarkan mengalir mencari celah jalan yang akan dapat di tembus, menghancurkan karang-karang yang mampu di hancurkan. Dan menjadilah apa yang akan terjadi tanpa harus kita arahkan apa yang akan terbentuk. Bagi mereka yang ada kekuatan awal dari keturunan bisalah untuk mencoba membentuknya, dalam proses. Namun kembali semuanya akan terjadi dari apa yang akan terjadi dari hari-hari yang telah di lalui.




Minggu, 15 Desember 2013

CERITA TENTANG RUMAH

Empat tahun sudah aku tinggalkan rumah ini, semua masih sama seperti dulu. Beberapa bagiannya mulai melapuk di makan waktu yang terasa cepat berlalu. Aku duduk sendiri di salah satu ruang di mana sering kubaringkan tubuhku dan juga beberapa tubuh teman-temanku yang kelelahan setelah berlarian mengejar mimpi-mimpi panjang. Ruangan ini tidaklah begitu besar dan telah penuh untuk menampung kata-kata yang pernah kita keluarkan bergantian, mengosongkan fikiran berlomba untuk cepat di realisasikan. Sementara wanita tua yang pernah melahirkan aku selalu menunggu di ruangan sebelah, dengan setia ia mengumpulkan menit-menit berlalu untuk di jadikan ribuan doa atas apa pun harapan-harapan yang belum dapat di berikan. Dan lelaki tua suaminya, selalu berdehem ketika angin dingin berhembus, di jaganya rumah ini di setiap malam dengan hembusan nafasnya bercampur kerlip bintang-bintang bertaburan di angkasa. Ya, masih ku ingat dengan jelas, itu lima tahun yang lalu. Lima tahun yang telah berlalu sebelum aku kembali lagi duduk sendiri di sini. Kipas kecil yang berhembus ke kanan dan ke kiri ini seperti tidak juga memahami kalau saja semua itu sudah terjadi. Hembusannya tetap tidak mampu menghapuskan ingatan-ingatan itu supaya pergi melayang jauh dari kepalaku. Televisi tua berdebu itu juga masih tetap setia ada di pojok ruangan ini walaupun tidak pernah menyala, sementara sebuah pigura berisi sertifikat penghargaan kesenian masih berdiri miring menengadah, berdebu juga tentunya. Semua kejadian empat tahun yang lalu terasa seperti baru kemarin terjadi, hiruk pikuk suara yang biasanya berlalu lalang itu masih ada di sini, di sela-sela hening malam ini. Saat ku dongakkan kepala ke atas, rumah laba-laba itu masih juga tergantung di salah satu ruas kayu, sekarang sudah bertambah lagi rupanya, mungkin rumah laba-laba tetangganya atau mungkin juga rumah laba-laba anak cucunya. Sementara retakan di tembok yang panjang itu seperti ingin menceritakan apa yang sudah ia lihat dan ia simpan rapi dalam lipatan retaknya selama ini. Tembok-tembok ruangan lain masih tetap diam membisu, enggan menampakkan apa yang sudah ia ketahui. Semua terjadi begitu saja, semua mengalir begitu saja, semua berlalu begitu saja, semua sepertinya hanya biasa-biasa saja. Tak ada sesuatu yang lebih maupun sesuatu yang hebat dan harus menjadi kenangan tidak boleh di lupakan. Apa yang harus di ingat dari sesuatu yang telah terjadi dengan biasa-biasa saja? Adakah keistimewaan yang harus aku persembahkan dari sesuatu yang hanya mendatar biasa-biasa saja?

Aku berdiri, mencoba berjalan melewati beberapa ruang semakin jauh ke dalam. Ku naiki tangga belakang, mengantarkan sampai ke sebuah ruangan yang bertemu dengan langit luas di atasnya. Sebentar aku berdiri menghirup udara dingin malam ini, ku buka satu pintu dari dua pintu ruangan di atas. Ada buku-buku, lukisan-lukisan, kayu-kayu spanram, cat-cat aneka warna, koran-koran, kertas-kertas sketsa, kuas-kuas, pensil-pensil warna, tas dan kaset-kaset musik, semua liar berserakan tidak tertata rapi bergelimpangan dan berdebu. Empat tahun yang lalu semua masih tertata rapi dan bersih tak berdebu, dan tidak juga tercium bau tikus di setiap pojokan ruangan atas. Ku ambil sebuah buku, debunya menempel seperti bedak yang di tumpahkan. Ku buka lembar demi lembar buku tulis yang sesekali terlihat goresan-goresan sketsa yang beberapanya aku sendiri sekarang sudah tidak bisa lagi memahami gambar apa itu. Aku seperti asing dengan tulisan-tulisan yang dulu aku tuliskan sendiri, juga dengan bentuk goresan-goresan yang pernah aku goreskan sendiri. Ah, apakah sudah sebegitu lamanyakah rumah ini aku tinggalkan? Sudah sebegitu jauhnya kah aku dengan diriku sendiri? "Tekk.. kkeeee.... Tekkkeee.....", tiba-tiba aku tersadar oleh suara tokek yang terdengar lantang di malam hari, masih terdengar seperti empat tahun yang sudah lampau. Ku letakkan buku yang aku lihat-lihat tadi, lalu ku ambil sehelai kain yang tergolek di lantai, aku kibaskan untuk menghilangkan debu yang menempel. Tiga sampai empat kibasan, kemudian aku jadikan pembersih kain lap untuk menghapus debu di salah satu kanvas yang nampak belum selesai di lukis. Tidak bersih benar aku membersihkan debu yang menempel, tapi paling tidak sudah bisa menampakkan lagi warna-warna lukisan yang belum selesai tersebut. Sejenak aku terpaku menatap lama goresan-goresan warna dan lengkung-lengkung garis lukisannya, biarpun belum selesai di lukiskan namun aku bisa melihat bentuk akhir lukisan itu, ya.. itu lukisanku, yaa.. empat tahun lalu yang belum sempat aku selesaikan. Sejurus aku seperti naik sebuah wahana waktu yang tidak nampak dan membawaku dalam sekejap ke masa empat tahun yang sudah lewat. Aku mengenali suasana itu, tapi aku tidak bisa lagi mengetahui suasana apa itu, suasana milik siapakah yang hadir saat ini? Apakah suasana yang pernah aku bangun dahulu? Aku mampu masih merasakannya, namun aku tetap tak mampu lagi menikmatinya. Aku pun dengan cepat sudah merasakan asing terhadap suasana tersebut. Segala macam warna dalam lukisan tersebut tiba-tiba berubah menjadi kabur dan samar, menjauh, buram dan kusam. Ku kibas-kibaskan kepalaku sambil memejamkan mata untuk mencari kesadaranku kembali. Ketika ku buka mataku, bersamaan dengan bunyi tokek yang kembali berteriak, bermacam warna-warna pada lukisan yang belum jadi tadi telah menyempit dan menjadi warna hitam dan putih saja. Seperti visual-visual media rekam yang kuno saja, semua ini menjadi membingungkanku. Menghalau dan membuyarkan ingatan-ingatan yang sudah terbangun kuat di ruang bawah tadi. Di dalam kepalaku terjadilah tarik-menarik dengan semua ingatan, kenangan, impian dan harapan yang pernah terjadi, seperti inikah masa lalu? Apakah semua benar-benar pernah terjadi?

Aku bukanlah tipikal seorang perokok, namun ketika aku melihat satu kotak kaleng rokok di rak buku atas dan melihat masih tersisa tiga batang rokok kretek yang masih dalam bungkus kemasan batangan di dalamnya, aku jadi tertarik untuk membakar dan menghisapnya satu batang. Kemeretek suara rokok saat ku bakar menjadikan suara kecil untuk tetap menjaga kesadaranku pada malam. Aku tebarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, tiba-tiba tampak ada seekor tikus yang berlari cepat untuk bersembunyi di sela kayu-kayu spanram. Entahlah, aku pun sudah tidak tertarik mengusiknya. Beberapa lukisan poster yang pernah aku kerjakan masih sama tergantung di paku yang menempel di tembok, sekilas ku lirik malam lewat pintu yang terbuka, dan langit masih kusam tanpa rembulan. Dengan tangan aku halau beberapa nyamuk yang berterbangan mendengung lewat di depan mukaku. Ingatan akan mimpi-mimpi empat tahun yang lalu berdiri berbaris berhadapan dengan kesadaranku. Dengan duduk bertimpuh, dengan kepala menunduk, aku mencoba mengurutkan kembali apa yang sudah berjalan, tanpa sadar aku ambil sebatang pensil dan mulai menggoreskan garis di atas selembar kertas berdebu. Tanpa ada bentuk, hanya sebuah kenangan. Haruskah aku kembali di sini setelah ku tinggalkan rumah ini dalam perjalanan yang sudah aku tempuh selama ini? Waktu adalah pemburu kejam, ia akan tetap berlalu untuk terus memburu usia di saat kita tinggalkan tanpa sadar, dan akan membunuh kita dengan kejam di salah satu tikungan masa. Aku tidak ingin berfikir malam ini, aku hanya harus mencari dengan cepat jawaban dari pertanyaan: kenapa harus kembali lagi di sini setelah empat tahun ku tinggal pergi? Untuk hal seperti ini pun waktu tidak akan pernah mau tahu, ia tetap akan tegas melibas kita. Sejenak ku hisap kembali rokok yang hampir padam, angin dingin dari luar berlomba-lomba untuk menusuk tubuhku dari segala penjuru arah. Goresan-goresan ini semakin tidak terarah, bergerak tanpa pola dan tanpa bentuk, mengikuti fikiranku yang sedang tidak ingin berfikir. Apa dan kenapa, bagaimana dan mengapa, dimana dan kemana, kata-kata yang masih berlarian di dalam otakku, bukan di dalam fikiranku. Semua akan berlalu, tidak pernah akan lama, dan yang pasti akan berlalu dengan cepat sebenarnya. Perlahan ku letakkan pensil itu di atas goresannya.

Samar terdengar suara adzan Subuh berkumandang di kejauhan, di kumandangkan dari masjid agung kota. Ku luruskan kakiku yang mulai terasa kesemutan, dan jika lantainya tidak kotor berdebu ingin rasanya ku rebahkan tubuhku sejenak untuk memenjarakan bermacam keinginan-keinginanku yang tidak menentu. Untuk segera menyerahkan apa saja, semuanya, ke sesuatu yang tidak pasti terlihat dan tidak jelas nampak di depan mata. Untuk segera menghilangkan, memberikannya kepada angin malam, membagikan kepada dinginnya angin pagi, untuk segera cepat di bakar habis di bawah sinar matahari. Dan ini semua belumlah usai, biarpun pagi telah datang berbondong menghampiri. Detik arloji penghitung menit menjadi doa-doa menuju pada apa yang di katakan orang sebagai harapan, sesuatu tujuan yang harus di kerjakan tanpa penuh pertanyaan lagi. Bilamana ini sebuah aturan yang sudah pasti kita pun tidak akan pernah fahami apakah kepastian itu sendiri. Bilamana memang rumah ini harus aku tinggalkan lagi entah untuk ke berapa kalinya, itupun juga akan menjadi sebuah aturan yang sudah tercantum dalam kepastian. Pagi dini hari ini aku masih di sini, belum beranjak pergi dari rumah ini, Masih mencoba untuk dapat terbangun di pagi hari.